Have an account?

Minggu, 07 Februari 2010

Baca deeh....Cerpen bagus

baca deeh...cerpen bagus
Bismillahirrohmanir rohim.
Subhanallah. ... sangat menyentuh, lumayan sebagai pengingat untuk meluruskan niat....
"Hari gini nikah? Nggak salah tuh?" Izzah berkata begitu seraya 
meleletkan lidahnya padaku.
"Lho, memang sudah waktunya kan? Apa lagi yang kamu tunggu? Kuliah 
sudah beres, tinggal nunggu wisuda. Amanah nggak di kampus lagi. Umur 
juga lumayan memenuhi. Nggak ada penghalang lagi kan? So, ngapain 
nunda-nunda? " kataku padanya.
"Kakak sendiri gimana? Udah hampir kepala tiga kok masih melajang 
aja? Kasihan tuh akhwat-akhwat senior yang nunggu dikhitbah ikhwan." 
protes Izzah.
Aku mengacak kepalanya karena gemas. "Iih, kamu ini. Diajak ngomong 
baik-baik malah mental terus. Kalo aku lain lagi masalahnya, bukan 
masalah nggak mau. Sudah ikhtiar berkali-kali tapi Allah belum 
memudahkan jalannya. Tahu kan?" jawabku dengan mata melotot.
"Ikhtiarnya kurang serius kali. Nyatanya kakak masih kelihatan 
nyantai-nyantai aja gitu. Kalo kakak aja belum nikah, ngapain juga 
Izzah buru-buru."
"Kamu akhwat, Zah. Nggak baik kalo ketuaan nikahnya. Masa-masa 
suburnya seorang akhwat kan di bawah tiga puluh tahun. Apa kamu nggak 
khawatir? Lagian sudah banyak ikhwan yang ngincer kamu. Nggak baik 
kalo kamu menghindar terus." Aku berusaha menghela kesabaranku.
"Ngincer aku? Emang mereka nggak ada kerjaan lain ya selain nglirik-
nglirik akhwat? Pantesan sekarang banyak ikhwan yang lelet banget 
kerjanya kalo dikasih amanah. Kerja dakwah aja nggak beres-beres eh 
mereka malah sempet-sempetnya ngurusin kenapa akhwat pake baju pink, 
kenapa akhwat jilbabnya warna-warni, kenapa foto akhwat nampang di 
presentasi, akhwat kok ketawanya ngakak gitu... bla... bla... bla... 
Nggak penting banget seeeh."
"Izzah..." Aku berteriak kencang dan ingin menutup mulutnya yang
terus nyerocos tak karuan itu. Tapi Izzah terlanjur berlari keluar 
rumah setelah sebelumnya mengecup pipi kanan kiriku.
"Daah Kakak. Izzah keburu ada rapat nih. Assalamu'alaikum. .." 
katanya seraya melemparkan senyum manjanya.
Huah, ini tak bisa dibiarkan. Bisa berabe kalau Izzah masih seperti 
itu terus kondisinya. Masak sudah hampir dua puluh lima tahun umurnya 
tapi tak secuil pun kulihat aktivitasnya ada yang mengarah ke 
penggenapan setengah diennya. Aku sebagai kakaknya tentu saja 
khawatir dibuatnya. Belakangan ini sudah ada tiga ikhwan yang 
mendatangiku berturut-turut dan mengatakan ingin bertaaruf dengan 
adikku itu.
"Saya suka dengan Ukhti Izzah. Bagi saya dia adalah akhwat haraki 
dengan militansi tinggi yang tak perlu diragukan lagi komitmen 
keislamannya. Sepak terjangnya selama mengemban amanah di kampus
sudah cukup menjadi bukti bagi itu semua. Alangkah berbahagianya
kalau ia bisa menjadi pendamping hidup saya." Akhi Ridwan, mantan 
petingginya waktu di BEM dulu mengungkapkan isi hatinya padaku. 
Ikhwan ini terbilang cukup baik dan populer di kalangan aktivis 
dakwah. Aku tidak akan keberatan kalau ia jadi suami bagi Izzah.
"Izzah adalah seorang akhwat dengan kedisiplinan, manajemen emosi, 
dan intelektualitas yang luar biasa. Saya ingin berkenalan dengan dia 
lebih jauh, bolehkah?" kalau yang ini datang dari Fauzi, kakak 
seniornya yang sekarang sudah kerja di Telkomsel.
"Saya tak pernah mengenalnya secara personal. Melihat wajahnya saja 
belum pernah. Namun saat membaca tulisannya yang berapi-api di media 
kampus yang cukup melukiskan ghirah dakwahnya yang luar biasa hingga 
hati saya tergerak untuk meminangnya. Sepertinya saya akan mudah bisa 
bersinergi dengannya... " Ini yang paling berat. Nggak tanggung-
tanggung, keinginan ini datang dari Haris, sobat dekatku yang sudah 
kukenal luar dalam dan sudah teruji ketangguhannya sebagai seorang 
kader pilihan hingga anganku pun sempat melayang tak karuan. 
Membayangkan ia dan Izzah duduk bersanding di pelaminan. Duhai, 
betapa leganya hatiku sebagai seorang kakak jika bisa menyerahkan 
Izzah pada orang terpercaya seperti dia.
"Izzah..." panggilku halus saat kami sedang makan berdua di rumah 
sore itu.
"Apa?" jawabnya ketus tanpa melihat padaku. Sementara tangannya tak 
berhenti menyendokkan makanan ke mulutnya.
"Masalah ikhwan yang ingin kuajukan padamu kemarin itu..." aku belum 
selesai dengan ucapanku saat tiba-tiba Izzah menghentikan makannya 
dan menatap garang padaku.
"Berhenti ngomongin itu atau Izzah boikot kakak sekarang juga." 
ancamnya dengan raut muka yang terlihat sangat marah. Aku kaget 
dengan perubahannya yang tiba-tiba itu.
"Zah, dengerin aku dulu..."
"Nggak, aku nggak mau denger topik itu. Bikin bete aja tahu nggak?"
"Tapi ini penting, Zah. Kita perlu ngomongin serius masalah ini."
"Nggak, nggak, nggak..."
"Izzah, tolong dewasalah." pintaku dengan nada memelas dan berusaha 
meraih tangannya untuk menenangkannya.
"Ayaaaaaaah. .." eh, ia malah bangkit berdiri dan berteriak-teriak 
memanggil ayah. Kacau nih. Ayah yang saat itu sedang bersantai-santai 
di belakang rumah datang tergopoh-gopoh ke arah kami. Izzah tersenyum 
penuh kemenangan.
"Ada apa sih kalian sore-sore gini ribut kayak anak kecil aja. Malu 
didenger tetangga tahu nggak?" tanya beliau dengan suara lantang dan 
kedua tangan yang bergayut di pinggang seperti orang menantang.
"Nggak tahu nih, Yah. Kakak tuh suka gangguin Izzah aja, ngajakin 
ngomong aneh-aneh yang Izzah nggak mau denger. Padahal aku kan lagi 
makan." Izzah berhasil ngomong duluan dan berlindung di belakang ayah 
dengan memasang muka memelasnya.
"Enggak kok, Yah. Irfan cuma pengen ngomong sesuatu yang penting aja. 
Tapi Izzahnya nggak perhatian. Belum selesai ngomong dia malah teriak-
teriak manggil Ayah. Kekanak-kanakan banget kan?" balasku berusaha 
membela diri.
"Mending kekanak-kanakan daripada kakak yang kekakek-kakekan. Bagusan 
mana coba?" ledeknya.
"Eh, malah balik menghina. Dasar bayi baru gede. Nggak bisa diajak 
ngomong baik-baik." Aku tersinggung mendengar kata-kata Izzah dan 
ganti meledeknya.
'Biarin."
"Sudah, sudah. Stop berantemnya. Pusing ayah mendengarnya. Nggak
peduli siapa yang salah siapa yang benar pokoknya stop! Sudah hampir 
maghrib tuh. Kalo sampai adzan nanti masih kudengar kalian kayak gini 
kuhukum kalian berdiri sampai besok pagi. Mengerti!" Huh, gawat kalau 
watak tentaranya ayah sudah kumat begini. Tak ada toleransi lagi. 
Jadinya aku terpaksa mengalah dan kembali duduk tanpa bicara. 
Kukunyah kembali makananku tanpa ingin memperpanjang lagi 
pertengkaran itu. Sementara Izzah mengambil piringnya dan makan lagi 
dengan memasang tampang cuek. Sidang ditutup.
Tapi aku tidak ingin menyerah sampai di situ saja. Hari-hari 
berikutnya aku masih terus merancang strategi bagaimana caranya 
supaya Izzah bisa tertarik untuk kuajak bicara masalah ini. Aku ingin 
tahu kenapa ia sepertinya anti dengan topik mulia ini. Adakah sesuatu 
yang mengganjal hatinya dan aku tidak mengetahuinya? Soalnya sebagai 
sesama saudara selama ini kami terbilang cukup dekat, sering curhat-
curhatan masalah dakwah atau pribadi, dan pergi ke mana-mana bareng. 
Jadi aku cukup tahu apa saja aktivitasnya dan ia juga tahu apa saja 
aktivitasku. Jarang ada sesuatu yang tersembunyi di antara kami.
Masalah ikhtiarku untuk menikah yang gagal terus karena terhalang 
oleh beberapa kendala pun ia tahu juga walaupun untuk masalah yang 
satu ini ia lumayan kurang care. Apa dia phobia menikah ya... jangan-
jangan begitu. Ya, aku ingat dia sering curhat masalah apa pun tapi 
jarang sekali dia menyentuh topik tentang cinta ikhwan akhwat atau 
pernikahan. Ada yang aneh di sini. Aku harus cari tahu, tekadku.
Maka karena terdorong oleh rasa penasaran itu sekaligus karena memang 
aku ingin berusaha mendekatkan Izzah pada upaya penggenapan setengah 
diennya aku pun jadi sering memperhatikannya lebih dari biasanya. 
Kuselidiki lebih detail aktivitasnya dalam seminggu apa saja. Tak 
kurang-kurang aku mengawasinya dengan semangat mengantarnya ke mana 
saja, meneleponnya tiap satu jam sekali supaya tahu ia sedang apa, 
mengubek-ubek isi tasnya, mempelajari mimik mukanya, meneliti buku-
buku di kamarnya tanpa sepengetahuannya, mencari tahu isi lemari dan 
kolong tidurnya... Nihil. Tak ada sesuatu yang mencurigakan. Ia masih 
Izzahku yang heroik dan penuh semangat, yang atmosfer kehidupannya 
disibukkan oleh aktivitas dakwahnya. Mabit, demo, rapat, lembur bikin 
proposal, ngisi kajian, ngurusi mentoring, lokakarya, up grading, 
baksos... begitulah.
"Kakak kenapa? Kok kayaknya sekarang perhatian banget sama Izzah?" 
tanyanya dengan muka menyelidik saat kami sedang menyantap es krim 
berdua di restoran simpang lima.
"Nggak pa-pa. Mumpung masih sendiri. Kali bulan depan aku sudah 
menikah sehingga nggak punya waktu buat manjain kamu lagi," 
pancingku. Sayangnya usahaku ternyata sia-sia. Dia tak tergoda untuk 
balik menggugat.
"Tabungan kakak sudah berapa?" ia membuka tasnya.


"Hah?" aku bengong, "maksudnya?"
"Aku tanya tabungan kakak sekarang sudah berapa? Sudah lama kan kakak 
bekerja. Minggu depan departemenku ngadain seminar nasional. Mau
nggak nyumbang? Kita kekurangan dana nih." Ia membuka proposal dan 
menunjukkan bagian anggaran dana pengeluaran padaku.
Aha! Aku dapat ide.
"Boleh, tapi ada syaratnya."
"Benarkah?" kedua matanya berbinar-binar ceria. Ia memelukku dengan 
gembira. "Apa?"
"Ceritakan padaku kenapa sepertinya kamu anti kalo kuajak ngomong 
tentang pernikahan?" Aku membetulkan letak dudukku, bersiap 
mendengarkan penuturannya. Tapi ia malah memasukkan kembali proposal 
itu ke dalam tasnya dan pura-pura seperti tak terjadi apa-apa.
"Nggak jadi. Aku cari donatur lain aja." ucapnya datar sembari 
mengarahkan pandangannya ke arah lain.
"Ye, gitu aja marah. Iya ya, aku nyumbang. Berapa? Lima ratus ribu 
aja ya."
"Transfer ke rekeningku secepatnya." katanya tanpa mengucapkan terima 
kasih. Begitulah Izzahku yang ceria akan berubah jadi dingin sikapnya 
kalau sudah mulai kusinggung-singgung masalah yang tadi. Bikin aku 
patah hati. Ditambah lagi aku juga harus terus-terusan merayunya
karena ia kalau sudah mutung bisa sangat lama. Uh, capek deh...
Aku hampir menyerah pada usahaku dan tak mau ambil pusing lagi dengan 
urusan ini. Biarlah semuanya berjalan apa adanya, pikirku. Toh, kalau 
memang Izzah belum mau, ngapain juga dipaksa-paksa. Ntar malah nggak 
berkah hasilnya, ya nggak?
Tapi sebait tulisan Izzah yang tertangkap oleh mataku larut malam itu 
membuat rasa penasaranku datang lagi. Aku menemukannya secara tak 
sengaja saat hendak mematikan komputer Izzah yang masih menyala dan 
ditinggal tidur olehnya. Kubaca berulang-ulang tulisan yang lebih 
mirip puisi itu dengan dahi mengernyit. Sebait puisi di sepotong
kertas yang digenggam sampai tidur oleh penulisnya, tidakkah itu
menandakan sesuatu yang amat berarti baginya?
Kutemukan dia sebagai wanita biasa
Wanita biasa yang menjadikan islam sebagai mahar pernikahannya
Kutemukan dia sebagai wanita hartawan berjiwa mulia
Wanita mulia yang setia mendampingi lelaki utama dalam 
kesederhanaannya
Maka tertatih-tatih aku pun mengejar ketinggian cita-citanya
Meski sayap-sayap ini mulai patah saat sadar bahwa itu jauh dari
realita
Rabbi, berilah aku kesempatan untuk menjadi seperti mereka
Sekali saja...
Biarkan jihad jadi kekasihku supaya kelak aku bisa jadi kekasih-Mu.. .
Aku membaca puisi itu dengan penuh tanda tanya. Apa yang terjadi? 
Pikirku.
Allah... Allah...
Aku berpaling pada Izzah yang kini mengigau menyebut nama-Nya. Kucoba 
meraba keningnya. Hangat.
Allah... Allah...
Izzah terus mengigau. Dua bulir bening mengalir dari matanya. Adikku 
menangis dalam tidurnya! Aku betul-betul tak mengerti.
"Izzah..." panggilku halus seraya mencoba membangunkannya. Tapi ia 
tetap tak bergeming. Sementara bibirnya tak henti mengigau.
Aku sedikit panik. Segera aku berlari ke kamar ayah dan menggedor 
pintunya keras-keras.
"Ayaaah, Izzah sakit. Kita harus memanggil dokter."
Kakak tidak tahu? " Fika mengernyitkan keningnya dan menatapku heran
"Aku betul-betul tidak tahu apa-apa. Karena itulah aku bertanya 
padamu, barangkali kamu lebih tahu masalah ini daripada aku." jawabku 
tanpa menutup-nutupi kegalauan hatiku. Sore itu aku sengaja 
menemuinya di lapangan basket tempat ia latihan. Fika adalah sahabat 
dekat Izzah sejak SMA. Meski mereka berbeda karakter dan kesibukan 
tetapi itu tidak menghalangi kuatnya ikatan hati di antara mereka. 
Gadis ini memang lumayan punya tampang cuek dan tomboy abis tapi
entah kenapa Izzah enjoy menjadikan dia sebagai sahabat dekatnya. 
Bahkan saking deketnya Fika sudah sangat mengenal bahasa-bahasa 
dakwah yang biasanya hanya digunakan di kalangan ikhwah.
Fika menghela nafas berat seraya menundukkan kepalanya ke tanah.
"Ada apa, Fik? Tolong ceritakan apa yang sesungguhnya terjadi pada 
adikku." desakku. Firman yang kuajak untuk menemaniku tampak asyik 
membaca buku di atas motorku di parkiran. Aku memang menyuruhnya agak 
jauhan agar Fika leluasa berbicara.
"Fika takut Izzah akan marah." katanya ragu.
"Aku kakaknya. Tidak berhakkah aku mengetahuinya demi membantunya 
keluar dari masalahnya?"
Gadis itu memalingkan pandangannya ke arah lain. Aku harus 
menunggunya lama sampai dia mau bicara.
"Kira-kira lima bulan yang lalu Izzah menjalani taaruf dengan seorang 
teman kampusnya... "
"What?" aku tersentak kaget, "ikhwan bukan? Kok tidak terdengar 
kabarnya?"
Fika memelototkan matanya, "ya ikhwanlah, masak akhwat?" protesnya. 
Aku buru-buru menenangkannya.
"Maaf, maksudku lelaki biasa atau yang sudah ngaji?"
"ikhwan aja keder kalo ngadepin Izzah, apalagi lelaki biasa. Jadi 
terjemahkan sendiri."
Aku menggaruk-garukkan kepalaku. "Iya, aku tahu kalo Izzah terkenal 
galaknya. Dia kan nggak mau deket-deket sama lawan jenis kecuali kalo 
ada perlunya. Jadi kalo sampai ada yang berani naksir dan taaruf
langsung pasti tuh ikhwan gede banget nyalinya ya."
"Dia tidak naksir tapi Izzah yang menawarkan diri padanya."
Gedubrak. Aku hampir terjungkal ke belakang mendengar pernyatan dari 
Fika itu.
"Menawarkan diri? Emangnya dia akhwat yang nggak laku? Banyak kok 
yang naksir padanya dan minta aku mak comblangin dia. Izzah kan..."
Fika buru-buru menyetopku. "Emangnya kalo akhwat menawarkan diri itu 
karena dia nggak laku? Dan emangnya kalo banyak yang naksir itu sudah 
pasti Izzah bisa sreg dengan salah satunya? Suka-suka Izzah dong mau 
cari pendamping hidup lewat cara apa. Asal halal Lha wong dia yang 
mau nikah." semprotnya.
Aku berusaha mengatur emosiku. "Eh, ya ya aku tahu. Tapi ceritain 
gimana kok bisa-bisanya Izzah menawarkan diri pada ikhwan itu...
Pasti dia punya banyak kelebihan ya."
"Irfan..." Fika menyebut satu nama.
"Irfan?" aku mencoba-coba mengingat sosok pemilik nama itu, "lho, dia 
kan yang mengalami kecelakaan motor dan kakinya terpaksa diamputasi 
itu? Ya Allah..." aku menepuk dahiku, semakin bingung saja aku saat 
mendengar semua ini.
"Ya, Irfan. Seorang ikhwan yang bahkan mungkin di kalangan kalian 
para aktivis saja tidak banyak yang mengenalnya. Yah, dia memang
hanya ikhwan biasa yang tidak punya posisi utama di lembaga dakwah 
manapun, sepak terjang yang terlihat biasa-biasa saja, dan punya
tampilan biasa-biasa saja atau nggak ikhwan banget lah, setidak-
tidaknya itu menurut pandangan kalian. Keluarganya juga biasa, bahkan 
boleh dibilang miskin. Adik-adiknya banyak, rumahnya di pinggiran rel 
kereta. Ayahnya pergi meninggalkan mereka sepuluh tahun yang lalu. 
Jadi selama sepuluh tahun ini Irfan dan ibunya berjuang menghidupi 
adik-adiknya. Siang ia kuliah, sore mengajar bimbel, malam menarik 
becak, dan pagi jualan koran."
"Dan Izzah ingin menikah dengan Irfan supaya dia bisa membantunya 
mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi ibu dan adik-adiknya? " 
tebakku. Semenjak Izzah masih kecil aku sudah tahu kalau adik semata 
wayangku itu cukup berjiwa sosial.
"Tepat. Izzah memandang bahwa keluarga kalian cukup punya harta untuk 
dibagi-bagi dengan sesama. Dia punya ayah seorang jendral, ibu 
pengusaha, kakak kontraktor, dan dia sendiri hampir lulus dengan
predikat cum laude hingga tak perlu risau untuk dapat kerja karena 
sudah banyak perusahaan yang menawarinya. Sempurna bukan?" ujar Fika 
dengan pandangan menerawang. Raut mukanya terlihat sedih. Aku sendiri 
tercenung dengan penuturannya. Izzahku, betapa mulia hatimu. 
Membuatku sejak dulu harus berkali-kali menutupi mukaku karena malu 
kalah cepat denganmu dalam berbuat kebaikan.
"Bagaimana dengan Irfan? Apakah... dia menerima Izzah?" tanyaku 
terbata-bata. Aku bisa membayangkan hancurnya hati Izzah kalau 
tawaran baiknya ditolak.
"Butuh perjuangan keras untuk meyakinkan Irfan bahwa Izzah siap 
menjadi istri dari lelaki sederhana seperti dia, bahwa Izzah meskipun 
berasal dari keluarga kaya raya tapi bukan layaknya putri yang suka 
dimanja dan diistimewakan, bahwa Izzah meskipun di lembaga dakwah 
terlihat amat diprioritaskan dan Irfan tidak terperhatikan itu tidak 
bisa menjadi ukuran bahwa ia lebih baik dari ikhwan biasa seperti 
dia. Ketegaran Irfan dalam menghidupi adik-adiknya sudah cukup 
membuktikan bahwa ikhwan itu lebih banyak memiliki keutamaan 
dibandingkan dia, begitu menurutnya." sampai di sini mata Fika 
berkaca-kaca dan kedua tangannya gemetar.
"Begitu berliku-liku proses taaruf itu. Hingga akhirnya ketika 
keduanya sudah sama-sama mantap dan Irfan siap untuk melamar 
Izzah... " kalimatnya terhenti. Ia menangis terisak-isak.
Aku menelan ludahku yang terasa pahit.
"Dan Irfan mengalami kecelakaan sehingga hubungan mereka tak bisa 
berlanjut sampai ke pelaminan, begitukah?" tanyaku dengan suara 
bergetar.
Fika menganggukkan kepalanya.
"Saat kecelakaan itu terjadi hati mereka sama-sama hancur. Tetapi 
Izzah tidak melihatnya sebagai penghalang, ia lebih menganggap itu 
sebagai ujian keikhlasannya sehingga dia bersikeras untuk tetap 
menikah dengan Irfan. Ketidaksempurnaan fisik Irfan bukan masalah 
berarti baginya sebab sejak awal memang dia sudah meniatkan 
pernikahannya sebagai ladang jihadnya. Sayangnya Irfan yang tak tega 
untuk menerimanya kembali, ia tak ingin semakin memberatkan Izzah 
dengan kondisinya yang sudah tak sempurna itu. Sudah miskin, cacat 
pula. Berkali-kali Izzah memohon-mohon padanya tapi tetap saja sia-
sia. Begitu banyak rintangan yang telah mereka lewati, tetapi 
ternyata perjuangan mereka untuk bersatu dalam mahligai rumah tangga 
akhirnya kandas juga..."
Aku menahan air mataku yang mendesak keluar, hatiku perih 
membayangkan Irfan dan Izzah yang harus mengalami tragedi memilukan 
ini. Sementara Fika semakin larut dalam tangisnya sehingga aku tak 
ingin lagi bertanya. Kesedihan telah merasuki hati kami dan membuat 
kami jadi sama-sama berdiam diri.
Aku baru mau bangkit dari dudukku dan berniat mengakhiri pembicaraan 
kami sore itu saat Fika berkata lagi padaku dengan raut muka pilu.
"Kak, jika suatu hari nanti Izzah sudah sembuh dari lukanya dan siap 
membuka hatinya untuk ikhwan lain tolong Kakak menjaganya agar jangan 
sampai terluka untuk yang kedua kalinya. Carikan ia seorang ikhwan 
biasa yang bisa mewujudkan misi pernikahannya yang tertunda. Izzah 
lelah dengan kesempurnaan. Selama ini ia begitu lekat dengan predikat 
tajir, cerdas, militan, rupawan... Maka jangan sandingkan ia dengan 
ikhwan-ikhwan yang memiliki predikat serupa. Ia benci dengan ikhwan-
ikhwan yang ingin menikahinya karena tergiur oleh predikat-predikatny 
a itu sebab baginya menikah bukanlah untuk unjuk prestasi. Sebab ia 
merasa bahwa ia tidak akan teruji keimanannya jika tidak bisa 
melenyapkan parameter-parameter itu dalam memilih pendamping 
hidupnya. Sebab ia ingin merdeka dari pesona-pesona yang sekejab
mata. Sebab..." Fika tak sanggup lagi meneruskan bicaranya.
"Sebab ia ingin menjadikan jihad sebagai kekasihnya.. ." aku 
melanjutkannya dengan air mata yang tak bisa lagi kusembunyikan.
Shubuh baru saja berlalu tapi aku sudah berganti pakaian olah ragaku 
dan bergegas mengetuk pintu kamar Izzah.
"Zah, lari pagi yuk." ajakku seraya duduk di pinggir tempat tidurnya. 
Izzah yang saat itu lagi tilawan mendongakkan kepalanya padaku.
"Nggak, ah. Aku mo ngerjain lpj." katanya malas-malasan.
"Lpj bisa dikerjain lain waktu."
"Enggak mau. Selain lpj ada banyak tugas lain yang harus kukerjain. 
Tuh lihat." matanya mengarah ke deretan tulisan tentang agenda hari 
ini yang sudah ia list malam tadi.
"Udah, paling lari cuma setengah jam aja kok. Sekali-kali olah raga 
dong biar sehat. Nggak kapok ya kemarin habis sakit gitu. Ntar 
kubantuin deh. Kan ini hari minggu, jadi aku nganggur." rayuku lagi.
"Gimana ya?" ia masih tampak pikir-pikir.
"Iih, susah banget sih. Ayolah, fisik juga ada haknya lho. Kalo mau 
jihad kan harus kuat luar dalem biar nggak gampang KO. Jalan dakwah 
kan berat... Ayo, srikandi langitku!" desakku seraya menjawil kedua 
pipinya yang membuat ia tertegun dengan kata-kataku barusan.
"Srikandi langit..." katanya dengan menggigit bibirnya. Aduh, aku 
salah ngomong ya, pikirku. Kugeser dudukku supaya bisa lebih dekat 
dengannya.
"Izzah, aku sudah tahu semuanya. Fika menceritakannya padaku seminggu 
yang lalu. Maafkan aku jika memaksa dia membuka rahasia yang kau
percayakan padanya. Tapi aku perlu tahu demi kebaikanmu dan demi rasa 
sayangku padamu."
Ia kelihatan kaget. Kedua matanya berkaca-kaca. Aku mengusapnya 
dengan lembut.
"Izzah, kau gadis yang kuat dan tabah. Kadang-kadang aku bertanya 
terbuat dari apakah hatimu hingga pintar sekali menyembunyikan luka 
itu. Tapi, kumohon berbagilah denganku. Mungkin aku tidak bisa 
menghiburmu atau membantumu keluar dari kemelut itu. Tapi setidaknya 
aku tahu apa yang sedang merisaukan hatimu sehingga aku tidak salah 
mengambil langkah. Aku takut aku melakukan sesuatu yang kukira baik 
bagimu tapi ternyata malah semakin menyakitimu. "
Izzah menghambur ke pelukanku dengan menangis tersedu-sedu.
"Aku tawarkan diriku padanya karena aku melihat surga terbentang di 
sana, di kehidupannya yang susah dan jauh dari kemewahan. Kuberanikan 
diriku dan kukuatkan azzamku karena aku berharap bisa seperti Bunda 
Khadijah yang merelakan hartanya di jalan-Nya atau seperti Ummu 
Sulaim yang memenangkan cinta di atas cinta. Tapi sepertinya aku
hanyalah hamba yang hina hingga Allah pun tak mengabulkan cita-citaku 
menjadi srikandi langit seperti mereka. Jadi beginilah Izzah yang 
sebenarnya, Izzah yang dikenal tajir, cerdas, kaya ternyata tak punya 
nilai di hadapan-Nya hingga tak cukup layak mendampingi lelaki zuhud 
seperti dia."
Hatiku trenyuh.
"Kenapa? Apakah telah begitu menggunungnya dosa-dosaku hingga aku 
semakin sulit mendapatkan kesempatan untuk menggapai surga? Apalah 
artinya predikat-predikat mulia di hadapan manusia jika ternyata aku 
tak bisa menggunakannya sebagai sarana untuk meraih keridhoan-Nya. .."
"Ssstt, Izzah jangan ngomong seperti itu. Justru ujian ini sebenarnya 
adalah sebagai wujud kasih sayang Allah padamu. Dia ingin membuatmu 
lebih kuat menggenggam keistiqomahan niat dan tujuan di tengah 
kondisimu yang memang rentan dengan godaan kesombongan. Sekali-kali 
terjatuh itu tak apa. Ayo bersemangatlah! Pagi ini olah raga. Habis 
itu kita bersiap-siap untuk menyambut Irfan. Siang ini ia mau datang 
ke sini buat meminangmu."
"What?" Izzah melepaskan pelukannya dan memandangku dengan mata 
melotot. Aku tersenyum seraya menganggukkan kepalaku.
"Ya, aku sudah menemui Irfan dan meyakinkannya kembali akan cita-cita 
pernikahan kalian yang tertunda. Emang sih butuh perjuangan berat 
buat meruntuhkan kekerasan hatinya. Nggak tanggung-tanggung, aku
harus bolak-balik silautahim ke rumahnya dan bermanis-manis muka di 
hadapan ibunya, mentraktir adik-adiknya makan ayam goreng di Arto 
Moro, nemenin mereka menggembala kambing dan berkotor-kotor ria di 
sawah, trus menceramahi Irfan panjang lebar dan merengek-rengek kayak 
anak kecil padanya, eh nggak ding... Wuah, capek deh. Pokoknya sudah 
kukeluarkan semua jurus-jurus ampuhku buat meluluhkan hatinya. Nggak 
kalah kalau mau dibandingin dengan perjuangan mereka-mereka yang di 
Katakan Cinta. Yah, semoga saja caraku ini nggak terkesan norak-norak 
amat. Lha wong mau bantuin adiknya biar cepet nikah kok. Jadi pasti 
dihitung pahala oleh Allah ya..." aku berkata dengan suara mantap dan 
penuh kepuasan. Sementara Izzah gemetar mendengar pengakuanku.
"Kakak..." panggilnya dengan nada bergetar. Aku kembali memeluknya 
erat-erat.
"Iya, jangan bersedih lagi. Akhirnya jadi juga kan kamu menikah 
dengannya. Udah, cup... cup... adekku sayang."
"Terima kasih..." ucapnya lirih namun cukup membuat hatiku berbahagia 
saat mendengarnya.
"Iya, tapi sebagai imbalannya jangan lupa gantian cariin aku belahan 
jiwaku yang belum ketemu-ketemu ya. Sudah kebelet nikah juga nih. Ayo 
yang semangat jadi mak comblangku. Ciee, adekku lebih duluan dari aku 
nih. Nggak relaaaa..." aku menggodanya lagi. Izzah memukul bahuku 
manja. Aku terkekeh-kekeh gembira.

1 komentar:

asep-bogor mengatakan...

kayanya ini bukan cerpen sob tapi cerpan (cerita panjang)...hehehe pisss. tapi bagus ko sob ceritanya, sampe2 ga selesai bacanya coz ketiduran.

Posting Komentar

Agar mendapatkan backlink, ketika memberi komentar disarankan untuk menggunakan Name/URL